BELI BAJU ONLINE...SINI AJA

Minggu, 30 Januari 2011

AUDITOR PERIKSA AUDITOR

Kerja Sama Dengan Pemda BPKP Disenggol Urusan Duit 6,7M
Permintaan kerja sama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguanan (BPKP) berbuah pahit.
Soalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) me­ne­mukan  pada laporan ke­uangan BPKP ada anggaran sebesar Rp 6,7 miliar yang tidak sesuai dengan mekanisme APBN.
“Pemda telah mengeluarkan belanja, tetapi di BPKP tidak dicatat sebagai penerimaan atau tidak disetor ke kas negara,” kata Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK, Bahtiar Arif melalui surat elektroniknya yang dikirimkan kepada Rakyat Merdeka, Jumat lalu.
Dikatakan Bahtiar, dalam laporan BPK tersebut, BPKP menang­gapi, sependapat dengan te­muan BPK mengenai biaya pe­lak­sanaan kegiatan pen­dam­pingan  BPKP terhadap Pemda dan BUMD dibebankan kepada Pem­da yang bersangkutan, ka­rena tidak tersedianya anggaran di DIPA BPKP.
Diungkapkan Bahtiar, BPKP telah meng­usulkan anggaran untuk pen­dampingan tersebut namun tidak mendapat persetujuan da­ri Menteri Keuangan/Bappenas.
Namun biaya pelaksanaan kegiatan pendampingan yang diterima langsung personel BPKP tersebut bukan merupa­kan penerimaan negara, sehing­ga tidak diatur mekanisme per­tanggungjawabannya, tidak harus disetor ke kas negara, tidak perlu dicantumkan seba­gai realisasi penerimaan negara dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.
Menurutnya, ada tiga alasan untuk mendasarkan hal itu, pertama, berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) khusus­nya pasal 2 ayat 1-3, ditegaskan un­tuk dapat dikatakan sebagai PNBP harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).
“Sedangkan kegiatan yang dilakukan BPKP tersebut belum ditetapkan dengan PP dan bukan termasuk dalam pe­ngertian pelayanan se­bagai­mana dimaksud dalam pen­je­lasan Undang-Undang terse­but,” paparnya.
Alasan kedua, kegiatan yang dila­kukan BPKP bukan untuk mem­berikan pelayanan tetapi meru­pakan perwujudan peran seba­gai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan menjalankan amanat PP Nomor 60 tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerin­tah (SPIP) khususnya, pasal 59 me­nyatakan BPKP sebagai pembina SPIP.
Ketiga, secara substansi, biaya pendampingan yang dike­luarkan oleh pemerintah daerah sesung­guhnya berupa pe­nggantian realisasi biaya sebenarnya (real cost) atas biaya perjalanan dinas dan honorarium kepada personil / pegawai BPKP terkait bukan pembayaran atas jasa institusi BPKP.
Namuan demikian, lanjut Bahtiar, SOP yang telah diterbit­­kan BPKP pada dasar­nya merupakan pedoman me­kanisme pertanggungjawaban pelak­sanaan kegiatan pendam­pingan BPKP kepada Pemda dan BUMD, yang meliputi pe­ngaturan mengenai prosedur pelaksanaan kegiatan termasuk pembiayaannya.
“Realisasi biaya pendam­pingan dipertanggungjawabkan dan dilaporkan di dalam LRA Pemda dan Laporan Laba/Rugi BUMD sesuai peraturan perun­dangan yang berlaku,” ujarnya.
Terkait persoalan itu, kata dia, BPK merekomendasikan ke­pada Kepala BPKP agar me­netapkan peraturan tentang pe­ngelolaan dan per­tang­gung­jawaban penerimaan atau biaya kerja sama dengan in­stansi lain, sesuai dengan per­aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
“Selain itu BPKP disarankan melakukan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Keuangan, guna menyusun PP mengenai kerja sama kegiatan-kegiatan pendampingan atau kerja sama dengan instansi lain,” paparnya.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi, Suradji mene­gaskan, semua pengeluaran ke­uangan lembaganya sudah se­suai dengan mekanisme APBN. “Sebenarnya tidak ada yang salah dalam laporan BPKP terhadap penerimaan kerja sama dengan Pemda dan BUMD,” katanya.
Menurut Suradji, penerimaan kerja sama antara BPKP de­ngan pemerintah dan BUMD dila­kukan menggunakan biaya pe­merintah daerah, karena  sa­ngat terbatasnya anggaran yang dimiliki BPKP.
“Ada beberapa Bupati dan Walikota yang meminta, agar BPKP mengeluarkan biaya sendiri, ketika melakukan kun­jungan ke daerah, tapi kan anggaran BPKP lagi-lagi terbatas,” ujarnya.
Menurutnya, BPK mengang­gap BPKP dan pemerintah daerah mengeluarkan biaya da­lam kunjungan dan kerja sama de­ngan pemerintah daerah, pa­dahal BPKP tidak me­nge­luarkan biaya, sehingga inilah yang menjadi alasan BPK menilai anggaran pengeluaran BPKP tidak sesuai dengan mekanisme APBN.
“BPK itu menganggap BPKP dan pemerintah daerah menge­luarkan uang dalam kerja sama dan kunjungan ke daerah yang kami lakukan. Jadi dana yang dikeluarkan itu <I>dobel, padahal tidak seperti itu,” jelas lelaki kelahiran Jawa Tengah ini.
Masih kata Suradji, dalam kegiatan-kagiatan tertentu yang tidak bisa tercover angga­ran­nya, lembaganya mengeluarkan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) nihil, sehingga tidak perlu membayar, semua dibe­bankan kepada pemerintah daerah.
Misalnya, biaya yang dike­luar­kan oleh pemerintah daerah digunakan untuk pe­nyusunan laporan keuangan, la­poran kekayaan aset, laporan ne­raca, membuat sistem ke­uangan yang valid, dan sistem anggaran kerja dan keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADING DAN INVESTASI DI PASAR KEUANGAN

  SAATNYA MENGHASILKAN UANG DARI PASAR UANG   http://alpari-forex.org/id/?partner_id=1246641