Kerja Sama Dengan Pemda BPKP Disenggol Urusan Duit 6,7M
Permintaan kerja sama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguanan (BPKP) berbuah pahit.
Permintaan kerja sama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguanan (BPKP) berbuah pahit.
Soalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pada laporan keuangan BPKP ada anggaran sebesar Rp 6,7 miliar yang tidak sesuai dengan mekanisme APBN.
“Pemda telah mengeluarkan belanja, tetapi di BPKP tidak dicatat sebagai penerimaan atau tidak disetor ke kas negara,” kata Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK, Bahtiar Arif melalui surat elektroniknya yang dikirimkan kepada Rakyat Merdeka, Jumat lalu.
Dikatakan Bahtiar, dalam laporan BPK tersebut, BPKP menanggapi, sependapat dengan temuan BPK mengenai biaya pelaksanaan kegiatan pendampingan BPKP terhadap Pemda dan BUMD dibebankan kepada Pemda yang bersangkutan, karena tidak tersedianya anggaran di DIPA BPKP.
Diungkapkan Bahtiar, BPKP telah mengusulkan anggaran untuk pendampingan tersebut namun tidak mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan/Bappenas.
Namun biaya pelaksanaan kegiatan pendampingan yang diterima langsung personel BPKP tersebut bukan merupakan penerimaan negara, sehingga tidak diatur mekanisme pertanggungjawabannya, tidak harus disetor ke kas negara, tidak perlu dicantumkan sebagai realisasi penerimaan negara dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.
Menurutnya, ada tiga alasan untuk mendasarkan hal itu, pertama, berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) khususnya pasal 2 ayat 1-3, ditegaskan untuk dapat dikatakan sebagai PNBP harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).
“Sedangkan kegiatan yang dilakukan BPKP tersebut belum ditetapkan dengan PP dan bukan termasuk dalam pengertian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Undang-Undang tersebut,” paparnya.
Alasan kedua, kegiatan yang dilakukan BPKP bukan untuk memberikan pelayanan tetapi merupakan perwujudan peran sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan menjalankan amanat PP Nomor 60 tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) khususnya, pasal 59 menyatakan BPKP sebagai pembina SPIP.
Ketiga, secara substansi, biaya pendampingan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sesungguhnya berupa penggantian realisasi biaya sebenarnya (real cost) atas biaya perjalanan dinas dan honorarium kepada personil / pegawai BPKP terkait bukan pembayaran atas jasa institusi BPKP.
Namuan demikian, lanjut Bahtiar, SOP yang telah diterbitkan BPKP pada dasarnya merupakan pedoman mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan pendampingan BPKP kepada Pemda dan BUMD, yang meliputi pengaturan mengenai prosedur pelaksanaan kegiatan termasuk pembiayaannya.
“Realisasi biaya pendampingan dipertanggungjawabkan dan dilaporkan di dalam LRA Pemda dan Laporan Laba/Rugi BUMD sesuai peraturan perundangan yang berlaku,” ujarnya.
Terkait persoalan itu, kata dia, BPK merekomendasikan kepada Kepala BPKP agar menetapkan peraturan tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban penerimaan atau biaya kerja sama dengan instansi lain, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
“Selain itu BPKP disarankan melakukan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Keuangan, guna menyusun PP mengenai kerja sama kegiatan-kegiatan pendampingan atau kerja sama dengan instansi lain,” paparnya.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi, Suradji menegaskan, semua pengeluaran keuangan lembaganya sudah sesuai dengan mekanisme APBN. “Sebenarnya tidak ada yang salah dalam laporan BPKP terhadap penerimaan kerja sama dengan Pemda dan BUMD,” katanya.
Menurut Suradji, penerimaan kerja sama antara BPKP dengan pemerintah dan BUMD dilakukan menggunakan biaya pemerintah daerah, karena sangat terbatasnya anggaran yang dimiliki BPKP.
“Ada beberapa Bupati dan Walikota yang meminta, agar BPKP mengeluarkan biaya sendiri, ketika melakukan kunjungan ke daerah, tapi kan anggaran BPKP lagi-lagi terbatas,” ujarnya.
Menurutnya, BPK menganggap BPKP dan pemerintah daerah mengeluarkan biaya dalam kunjungan dan kerja sama dengan pemerintah daerah, padahal BPKP tidak mengeluarkan biaya, sehingga inilah yang menjadi alasan BPK menilai anggaran pengeluaran BPKP tidak sesuai dengan mekanisme APBN.
“BPK itu menganggap BPKP dan pemerintah daerah mengeluarkan uang dalam kerja sama dan kunjungan ke daerah yang kami lakukan. Jadi dana yang dikeluarkan itu <I>dobel, padahal tidak seperti itu,” jelas lelaki kelahiran Jawa Tengah ini.
Masih kata Suradji, dalam kegiatan-kagiatan tertentu yang tidak bisa tercover anggarannya, lembaganya mengeluarkan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) nihil, sehingga tidak perlu membayar, semua dibebankan kepada pemerintah daerah.
Misalnya, biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah digunakan untuk penyusunan laporan keuangan, laporan kekayaan aset, laporan neraca, membuat sistem keuangan yang valid, dan sistem anggaran kerja dan keuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar