BELI BAJU ONLINE...SINI AJA

Sabtu, 19 Februari 2011

EMPAT HAL YANG DIPERHATIKAN OLEH PASAR KEUANGAN

Ada empat hal yang sedang diperhatikan oleh pasar keuangan.
Pertama, adalah meningkatnya inflasi di negara berkembang akibat naiknya harga komoditas pangan dan energi, serta karena gejala overheating ekonomi.

Kedua, adalah akselerasi pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan negara maju lainnya.

Ketiga, adalah situasi krisis fiskal di beberapa negara Eropa terutama di Greece (Yunani), Irlandia, Portugis, Spanyol, dan Italia, yang sering disebut negara GIPSI.

Keempat adalah situasi krisis politik di Mesir dan pengaruhnya terhadap harga minyak. Naiknya inflasi serta bergejolaknya politik di Tunisia dan Mesir telah meningkatkan risiko berinvestasi di negara berkembang.
Reaksi investor adalah mengurangi jumlah portofolio investasi di negara berkembang karena pada 2009 dan 2010 mereka telah menangguk untung besar. Tindakan ini disebut sebagai profit taking atau aksi ambil untung.

Sebaliknya reaksi investor di negara maju adalah mereka lebih agresif membeli saham karena valuasi saham di sana belum terlalu mahal dibandingkan dengan di emerging market.
Contohnya di Indonesia, valuasi saham sudah meningkat dua kali lipat, yaitu dari valuasi 7 kali PER di awal 2009 menjadi 14 kali PER pada akhir 2010.

Jika yang terjadi di pasar keuangan negara berkembang adalah aksi ambil untung maka artinya hal tersebut bersifat sementara.

Investor akan kembali membeli saham dan surat utang emerging market setelah masalah inflasi teratasi dan situasi politik Timur Tengah kembali stabil.

Aliran dana dari negara maju ke negara berkembang masih akan terus berlanjut karena potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang memang lebih bagus di negara berkembang dibandingkan dengan di negara maju.

Menurut riset dari Capital Economics dan Cannacord Genuity, naiknya harga minyak akibat gejolak politik di Mesir bersifat temporer karena Mesir hanya menghasilkan minyak sekitar 740.000 barel per hari atau 0,9% dari produksi global.
Bahkan Terusan Suez hanya dilalui oleh kapal pengangkut 1,8 juta barel minyak per hari, sehingga bukanlah jalur transportasi dominan bagi lalu lintas minyak dunia. Yang harus dipantau adalah apakah gejolak politik di Mesir akan merambat ke negara penghasil minyak dominan seperti Arab Saudi.
Mengatasi inflasi
Jika krisis Mesir bersifat temporer, pertanyaan selanjutnya, apakah masalah inflasi di negara-negara berkembang bisa teratasi? Maka dari itu menjadi penting bagi otoritas di negara berkembang untuk mengatasi inflasi. Tapi jangan salah paham.
Masalah inflasi perlu ditangani bukan karena otoritas moneter tunduk kepada tekanan investor pasar keuangan. Inflasi perlu ditangani karena masyarakat berpenghasilan rendahlah yang menjadi korban inflasi.

Selain itu, jika inflasi tidak diatasi maka biaya dana akan meningkat sehingga merugikan dunia usaha dan meningkatkan pembiayaan surat utang negara (SUN).

Banyak kalangan tidak menyadari bahwa walaupun pada Januari Bank Indonesia tidak menaikkan BI Rate, akan tetapi yield SUN sudah naik dibandingkan dengan Desember. Investor khawatir terhadap inflasi yang telah mencapai 7%. Kenaikan inflasi akan menurunkan `daya beli uang' sehingga investor meminta yield obligasi atau bunga yang lebih tinggi.

Yield atau kupon bunga penerbitan SUN dan obligasi korporasi di Indonesia sudah meningkat 150 bp (1,5%) sejak bulan Januari 2011. Yield SUN berjangka waktu 10 tahun meningkat dari 7,5% pada awal Desember menjadi 9,0% pada akhir Januari 2011. Maka sudah saatnya pembahasan APBN selain membahas asumsi inflasi dan suku bunga SBI juga harus membahas asumsi rata-rata yield SUN karena itulah yang sebenarnya menjadi beban pembiayaan defisit APBN.

Inflasi yang kali ini terjadi bukan saja karena naiknya harga komoditas pangan dan energi, tetapi juga oleh overheating ekonomi. Kenaikan aktivitas ekonomi di negara berkembang tidak mampu dipenuhi oleh sisi supply barang sehingga harga naik.

Gejala overheating digambarkan oleh angka impor barang konsumsi yang terus meningkat, neraca perdagangan yang defisit, valuasi saham yang meningkat di atas nilai fundamentalnya, harga properti yang terus melambung, dan utang yang terus membengkak.

Indonesia belum mencapai kondisi overheating yang mengkhawatirkan karena neraca perdagangan masih surplus sekitar US$2 miliar per bulan dan kredit konsumsi tumbuhnya 22% yaitu tidak lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit nasional.

Akan tetapi jika kita lihat dari pertumbuhan impor barang konsumsi yang meningkat 48% pada 2010 dan harga properti di beberapa lokasi yang kenaikannya lebih dari 20% per tahun pada 2008-2010 maka harus diakui bahwa Indonesia sedang mengalami gejala overheating.

Kesimpulannya, pengetatan moneter yang dilakukan oleh BI dalam bentuk kenaikan giro wajib minimum (GWM) ke 8% dan kenaikan BI Rate ke 6,75% adalah suatu hal yang memang harus dilakukan, dan tampaknya belum berhenti di sini.

Inflasi di banyak negara berkembang sejak semester II/2010 sudah menunjukkan tren pemburukan. Di India inflasi Desember mencapai 8,43%.
Bank sentral India sudah menaikkan bunga repo sebanyak tujuh kali sejak Maret tahun lalu men jadi 6,5% pada Januari.
Pengetatan likuiditas di India juga dilakukan dengan meningkatkan rasio GWM dua kali menjadi 6%.

Di Brasil, inflasi tahun lalu mencapai 5,91%, bank sentralnya telah menaikkan bunga beberapa kali sejak April 2010 menjadi 11,25% dan juga menaikkan rasio GWM dari 15% ke 20% pada Desember 2010.

Inflasi di China meningkat ke 5,1%, akibatnya People Bank of China telah menaikkan bunga dua kali di Oktober dan Desember 2010 menjadi 5,81%.
Rasio GWM di China telah dinaikkan tujuh kali sejak 2010 menjadi 19%. Selain ketiga negara di atas, Malaysia, Australia, Thailand, Taiwan, dan Korea Selatan, juga telah mengetatkan kebijakan moneter.

Kita tidak perlu khawatir pengetatan moneter berdampak signifikan kepada pertumbuhan ekonomi karena roda perekonomian Indonesia saat ini sedang mengalami akselerasi.

Sebagai contoh, pada 2007 dan semester I/2008 pada waktu ekonomi juga sedang mengalami akselerasi, pada saat itu suku bunga SBI adalah 7,5% (lebih tinggi daripada sekarang) dan ternyata pertumbuhan kredit tetap bisa mencapai di atas 25% dan pertumbuhan ekonomi sedikit di atas 6%.

Agar inflasi menurun cepat maka pengetatan moneter harus dilengkapi dengan usaha pemerintah pusat dan daerah memfasilitasi peningkatan produksi dan ketersediaan pangan dan energi serta membenahi jalur distribusi.

Pemerintah telah menurunkan bea masuk bahan pangan tetapi pembahasan pembatasan BBM premium masih berlanjut.
Akibatnya ekspektasi inflasi belum turun karena tergantung seberapa besar dampak pembatasan BBM Premium di Jakarta terhadap biaya distribusi barang di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADING DAN INVESTASI DI PASAR KEUANGAN

  SAATNYA MENGHASILKAN UANG DARI PASAR UANG   http://alpari-forex.org/id/?partner_id=1246641